"Literasi bukan hanya perihal baca-tulis-hitung tapi terkait kecakapan hidup. Namun, perlu kolaborasi dan kerja nyata dari seluruh stake holder literasi, Perpustakaan Nasional dan Pemerintah dalam peningkatan literasi di masyarakat."
JAKARTAINSIGHT.com | Hal tersebut dikatakan oleh Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Perpusnas Adin Bondar dalam kegiatan gelar wicara Bincang Literasi Kini dan Nanti di Jakarta, Senin, (11/12/2023).
Ekosistem literasi yang dibentuk melalui literasi keluarga yang dapat menjadi pondasi pembentukan karakter yang baik menuju Indonesia Emas 2045. Keluarga merupakan unit terkecil dan harus menjadi perhatian bersama dalam hal peningkatan literasi masyarakat.
Turut menjadi pembicara dalam kegiatan tersebut Ketua Umum Gerakan Pembudayaan Minat Baca (GPMB) Herlina Mustikasari menyampaikan Literasi adalah kemampuan seseorang memilah dan memanfaatkan informasi yang diterimanya untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan semua orang bisa melakukan hal tersebut jika ada keinginan dan mengaplikasikannya sehingga bermanfaat untuk hidupnya.
Literasi memang tidak selalu kefasihan baca-tulis. Karena banyak anak-anak di dunia yang memiliki kebutuhan khusus atau disabilitas tapi punya kecakapan lainnya, seperti keterampilan melukis.
“Karena literasi sekarang bersifat inklusi. Tidak hanya terkait infrastruktur tapi juga pemberdayaan manusia,” ungkap Herlina.
Dalam kesempatan yang sama Ketua Umum Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI), T. Syamsul Bahri menegaskan bahwa literasi sudah menjadi tujuan besar pemerintah untuk peningkatan sumber daya masyarakat. Penopang dari infrastruktur literasi itu sendiri diakui Syamsul tidak lepas dari faktor perpustakaan, sumber daya manusia, serta lingkungan.
Bicara tentang perpustakaan dan pustakawan di masa kini dan yang akan datang, erat kaitannya dengan teknologi informasi. Pustakawan harus menyadari dirinya kalau perkembangan teknologi informasi sudah mengalir sangat cepat. Sudah tidak berlaku lagi kompetensi pustakawan yang hanya menunggui pemustaka berkunjung. Mereka wajib beradaptasi dan memanfaatkan teknologi untuk menunjang kinerjanya.
“Di satu sisi, perpustakaan sudah mengubah paradigma dirinya yang tidak sekedar menjalankan fungsi deposit dan layanan. Dan paradigma baru perpustakaan juga mesti diimbangi pustakawan yang mesti paham dengan informasi atau pengetahuan yang dibutuhkan masyarakat,” kata Syamsul.
Perlakuan terhadap literasi juga harus sama di sektor pendidikan. Pemahaman guru kepada siswa jangan sebatas ‘yang penting siswa bisa baca dan tulis’ melainkan digiring untuk mencoba memahami yang tersirat dan tersurat dari teks sehingga siswa paham.
“Orang harus terus belajar. Dan tidak hanya agar bisa baca tulis tapi juga paham. Di mulai dari mereka bisa mengungkapkan dirinya dan juga berfikir,” urai akademisi pendidikan Adiyati Fathu Roshonah.
Ya, sudah menjadi keharusan bahwa pemerintah wajib menyiapkan seluruh sarana dan prasarana, layanan, pengelolaan, serta tenaga perpustakaan sebagai pendamping literasi di masyarakat. Meski ini masih butuh kerja keras namun ini merupakan tantangan bagi pustakawan dan pegiat literasi lainnya.