Simak 5 Alasan Suku Baduy Minta Dihapus Sebagai Destinasi Wisata!

Simak 5 Alasan Suku Baduy Minta Dihapus Sebagai Destinasi Wisata!
Masyarakat Suku Baduy. (istimewa)

 

JAKARTAINSIGHT.com | Baduy adalah salah satu suku yang terdapat di Indonesia, tepatnya di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Kehidupan masyarakat Suku Baduy selama ini boleh dibilang unik dan tertutup bagi dunia luar. Terlebih Suku Baduy pedalaman.

Belakangan muncul dan viral permintaan dari masyarakat Suku Baduy kepada Presiden Joko Widodo terkait keberadaan mereka sebagai destinasi wisata. Melalui surat terbuka yang ditujukan langsung kepada Presiden, masyarakat Suku Baduy menyatakan keberatan dan meminta wilayah atau tempat mereka dihapuskan dari tujuan wisata nasional.

Berikut beberapa alasan yang membuat Suku Baduy secara tiba-tiba menyatakan agar daerah mereka tidak lagi menjadi tujuan (destinasi) wisata;

1. Masyarakat Suku Baduy merasa terganggu akibat banyak kedatangan wisatawan. 

2. Terusik akibat kehidupan mereka dijadikan tontonan bagi para wisatawan.

3. Banyaknya wisatawan yang datang berkunjung mengakibatkan sampah plastik juga bertambah banyak. Hal ini menjadi masalah baru bagi penduduk setempat.

4. Ketidaknyamanan masyarakat setempat.

5. Pengaruh luar terhadap tatanan adat Baduy tergerus.

Hal ini juga disampaikan Pendiri Desa Wisata Institute, Hannif Andy Al Anshori. Seperti dikutip dari detiktravel, Hannif menyampaikan apa yang dikeluhkan masyarakat Suku Baduy, haruslah menjadi perhatian pemeritah, baik daerah maupun pusat.

"Saya memahami keresahan masyarakat Suku Baduy akibat menjadi destinasi wisata. Justru, inilah momen yang pas bagi Pemerintah untuk menjadikan pariwisata yang berkualitas," ucap Hannif.

"Sebab, wisata adat tak bisa lepas dari dua hal utama, yakni daya tampung dan batas perubahan," tambah Hannif lagi.

Andi juga melanjutkan, bilamana kedua hal diatas tidak mendapat perhatian utama, maka timbullah keresahan seperti yang dialami masyarakat Suku Baduy.

"Masyarakat Baduy saat ini sudah menganggap jumlah wisatawan yang berkunjung sudah terlalu tinggi (overtourism), serta mulai terganggu," sambung Hannif.

Hal ini menurut Hannif bukanlah fenomena baru, dan memang wajar dilakukan oleh warga setempat. Wisata adat itu harus ada keseimbangan pembangunan dan keseimbangan dari tiga pilar sosial, lingkungan, dan ekonomi. Dimana yang sangat diutamakan adalah sosial dan lingkungan.

Disini, Pemerintah mempunyai peran penting dalam membatasi jumlah wisatawan. Sesuaikan dengan adat yang berlaku, termasuk saat membuat aturan etika berwisata.

"Pemerintah juga sudah saatnya menerapkan quality tourism (pariwisata yang berkualitas), yaitu dengan menjaga keseimbangan sosial dan lingkungan. Bukan semata-mata benefitnya saja. Terlebih lagi bila ada masyarakat lokal dirugikan dan terganggu.

"Prinsip pariwisata adalah menyenangkan wisatawan dan tuan rumahnya, ketika salah satu tidak terpenuhi maka akan muncul gesekan dan ketidaknyamanan bagi keduanya," pungkas Hannif.

 

 

 

Editor:Mika Syagi
Asian Games || jakartainsight.com
BUMN || jakartainsight.com