JAKARTAINSIGHT.com | Merespon upaya kasasi yang ditempuh oleh PT. Harmas Jalesveva, Sosuharun Nababan yang mewakili tim kuasa hukum pemohon angkat bicara.
"Sebagai pembela hukum, tentunya kami sangat menghargai upaya kasasi yang mereka (PT. Harmas Jalesveva) lakukan, itu hak mereka," ujar Sosuharun Kamis (2/7/20) lalu di Jakarta.
Penetapan pailit PT. Harmas Jalesveva tercantum di Putusan Nomor 02/Pdt.Sus Pembatalan Perdamaian/2020PN.Niaga.Jkt.Pst tgl 15 Juni 2020 dimana sebelumnya sudah ada perjanjian perdamaian pada 2018 lalu (Putusan Pengadilan Niaga Nomor: 55/Pdt.Sus-PKU/2018/PN.Niaga.Jkt.Pst).
"Jadi alurnya jelas, sudah ada PKPU dulu lalu muncul kesepakatan perdamaian, tidak dilaksanakan dan karena tidak dilaksanakan kami batalkan. Akibat dari pembatalan itu adalah pailit. Mau tidak mau bukan kata saya. Kata UU kalau dibatalkan harus pailit. Nah terhadap pailit tersebut tidak ada lagi perdamaian,” lanjut Sosuharun.
Sosuharun menambahkan, sesuai Undang-undang Nomor 37 tahun 2004 tentang ‘Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang’ yang menyebutkan bahwa Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-undang dan wajib dipenuhi oleh Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur dalam hal ini Harmas.
Dipailitkan, Harmas Jalesveva Tempuh Jalur Kasasi
“Alurnya begini, Harmas buat gedung lalu tidak dislesaikan dengan baik lalu munculah PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Bunyi UU seperti itu. Artinya ini diputus, Harmas kalah. Artinya menurut pengadilan Harmas punya Hutang. Jadi kalau teriak-teriak hutang saya mana, kan sudah diputus PKPU."
Seperti dijelaskan Pada pasal 170 ayat 1 disebutkan Kreditor dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian tersebut.
Terkait pelanggaran yang dimaksudkan, Sosuharun mengungkapkan dalam hal ini pihak termohon (PT. Harmas Jalesveva) adalah soal penyerahan unit. “Ini juga bukan kata saya. Ada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, Tentang Bangunan.
Pertama pasal 37 ayat 1 ‘Pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi’.
Selanjutnya pada ayat (2) pasal tersebut berisi Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis, sebagaimana dimaksud dalam Bab IV Undang-Undang ini.
Lalu ayat (3) berisi Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung harus dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi.
Selanjutnya ayat (4) berisi Dalam pemanfaatan bangunan gedung, pemilik atau pengguna bangunan gedung mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Terakhir pada ayat ke (5) berisi Ketentuan mengenai tata cara pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
"Jadi kalau belum laik fungsi boleh digunakan tidak,? seandainya termohon mau serah terima supaya pemilik unit apartemen mau menggunakan seyogyanya harus ada gak layak fungsinya ? Bener gak? Ini kata Undang-Undang," tutup Sosuharun.