JAKARTAINSIGHT.com | Menyoroti soal penguatan literasi digital masyarakat memasuki new normal, Perpusnas (Perpustakaan Nasional) bersama Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Rabu (17/6/2020) kemarin menggelar webinar (web seminar) bertajuk "Bangkit dari Pandemi dengan Literasi".
Seminar tersebut diikuti oleh sebanyak 1000 orang peserta dari berbagai perwakilan kementerian/lembaga, pemerintah daerah (Bappeda dan dinas perpustakaan), akademisi, pegiat literasi dan masyarakat umum.
Kepala Perpustakaan Nasional, M. Syarif Bando yang menjadi pemapar dalam seminar tersebut mengatakan perpustakaan menjadi solusi meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa yang memiliki dampak hasil akhir yang signifikansi bagi penggunanya. Hal ini menjadi peningkatan infrastruktur akses informasi dan pengetahuan, penguatan sumber pengetahuan dan nilai informasi serta penguatan konteks informasi bagi individu.
"Ada 4 tingkatan literasi yakni kemampuan mengumpulkan sumber-sumber bacaan, mampu memahami apa yang tersirat dari yang tersurat, mengemukakan ide atau gagasan baru, teori baru, kreativitas dan inovasi baru serta akhirnya menciptakan barang atau jasa yang bermutu bagi kehidupan," kata Bando.
Dengan demikian, lanjut Syarif Bando, menghasilkan keadilan informasi dan pengetahuan bagi setiap orang serta penguatan literasi bagi setiap orang sehingga tercipta inovasi disertai kreativitas. Hasilnya terjadi peningkatan kapabilitas individu dan kesejahteraan masyarakat.
"Saat ini transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial sebagai pusat ilmu pengetahuan menjadikan perpustakaan wahana pembelajaran sepanjang hayat melahirkan berbagai inovasi dan kreativitas masyarakat," ungkap Syarif.
Baca : Lewat Aplikasi iPusnas Masyarakat Bisa Akses Online Koleksi Lengkap Referensi Buku di Perpusnas
Sejalan dengan Syarif, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa menegaskan perlunya memperkuat budaya literasi masyarakat sebagai salah satu upaya agar mampu bangkit dari keterpurukan.
"Hal ini penting karena literasi sebagai bentuk cognitive skills memiliki peran besar dalam upaya pemulihan sosial-ekonomi masyarakat pasca Covid-19."
Masyarakat dengan kemampuan literasi lebih baik cenderung akan lebih siap menghadapi dampak buruk pandemi. Ini karena mempengaruhi sikap seseorang dalam menentukan respons terhadap suatu persoalan. Kepanikan masyarakat timbul sebagai reaksi spontan yang sering dipicu oleh informasi tidak benar (hoax) yang beredar luas. "
Masyarakat dengan tingkat literasi tinggi akan selalu melakukan konfirmasi atas kebenaran informasi yang diperoleh,”ujar Monoarfa.
Dalam kesempatan yang sama, Gurbernur DKI Jakarta Anies Baswedan berpendapat, literasi bukan sekadar baca tulis, tapi ada beragam literasi yakni ICT literacy (Teknologi Informasi dan Komunikasi/TIK), literacy financial, dan literacy cultural and civic. Dengan memahami hal tersebut, kemampuan dalam menangkap perubahan gaya hidup selama pandemi, akan menjadi lebih baik dan wawasan bertambah.
Sementara literasi budaya dan masyarakat (literacy cultural and civic) muncul dalam bentuk kedisiplinan komunal yakni pelaksanaan protokol kesehatan seperti menjaga jarak aman dalam antrean, penggunaan masker, hingga mencuci tangan.
“Selama pandemi, publik sedang menjalani pemanfaatan literasi dan pemerintah memiliki tugas dalam public education. Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi adalah periode pendidikan bagi masyarakat atas kebiasaan baru,” ujar Anies.
Tak hanya Anies, Mantan Dirut TVRI Helmy Yahya juga turut menambahkan. Menurut Helmy era kenormalan baru menjadikan dunia begitu cepat menjadi serba digital. Platform media pun ikut berubah. Seluruh negara di dunia memaksa manusia harus melek digital karena aturan atau protokol keseharian semuanya bersentuhan dengan teknologi. Manusia beralih dari dunia offline menuju online.
“Jadi, saat ini masyarakat Indonesia sudah shiftting dari budaya membaca ke budaya melihat. Kalau kita menggunakan medsos, seperti Twitter, Facebook, Instagram, saya ingin memberitahu bahwa gambar yang bergerak atau video akan lebih tinggi responnya daripada still foto. Dan foto itu jauh lebih akan direspon daripada hanya sekedar teks,” tutup Helmi.