Dampak Covid-19 Terhadap Penanganan Stunting dan Gizi Buruk Anak di Indonesia

Dampak Covid-19 Terhadap Penanganan Stunting dan Gizi Buruk Anak di Indonesia

Target pemerintah menurunkan stunting hingga 14% dinilai sulit dicapai apabila perhatian terhadap gizi anak di tengah masa pandemi Covid 19 ini berkurang / (foto ; istimewa)

JAKARTAINSIGHT.com | Tahun 2019 lalu, Indonesia menempati urutan ketiga di Asia sebagai negara dengan jumlah prevalensi stunting tertinggi, hal tersebut membuat pemerintah memasukan penanganan stunting dan gizi buruk menjadi program prioritas dengan menargetkan penurunan kasus sebanyak 14 persen.

Di sisi lain, Indonesia saat ini juga sedang diperhadapkan dengan persoalan pandemi global Covid-19 yang sangat berdampak terhadap perekonomian lintas industri. Pemerintah bahkaan memprediksi bahwa wabah Covid-19 akan menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan angka kemiskinan di tanah air.

Meneropong sejauh mana dampak pandemi Covid-19 terhadap prevalensi stunting (gizi anak) di Indonesia, FJO (Forum Jurnalis Online) menggelar diskusi media membahas hal tersbeut dengan menghadirkan salah satu pakar kebijakan publik, Agus Pambagio.

Dalam diskusi yang digelar secara virtual tersebut, Agus Pambagio menyampaikan bahwa target pemerintah menurunkan stunting hingga 14% dinilai sulit dicapai apabila perhatian terhadap gizi anak di tengah masa pandemi Covid 19 ini berkurang. 

"Sangat disayangkan perhatian pemerintah terhadap stunting dan gizi buruk yang teralihkan akibat Covid 19. Yang harus disadari, stunting ini dampaknya 30 tahun mendatang. Saat dunia makin kompetitif, anak-anak yang hari ini tidak cukup gizinya akan semakin terbelakang,” ujar Agus. 

Menurut pria pemilik gelar Master of Arts The George Washington University tersebut, penanganan stunting dan gizi buruk seharusnya tidak lantas terhenti akibat pandemi. Sebab dapat tetap dilakukan  melalui pemberian makanan tambahan (PMT) dan program bantuan pangan yang lebih tepat sasaran dimana bukan hanya dari segi penerima, namun juga komposisi isinya harus memenuhi kebutuhan gizi anak dan keluarga. 

“Sekarang di dalam bantuan pangan atau sembako, ada produk tinggi kandungan gula seperti susu kental manis. Ini kan tidak tepat diberikan kepada masyarakat apalagi nanti jadi konsumsi anak-anak. Jadi saya harap hindari memasukan makanan yang tidak baik untuk pertumbuhan,” tegas Agus Pambagio.

Hal senada juga disampaikan oleh anggota Komisi IV DPR RI Luluk Nur Hamidah menyayangkan adanya usulan Kementerian Pertanian untuk memangkas anggaran program kegiatan di daerah rawan pangan dan stunting. Pos anggaran itu sebelumnya terdampak pemotongan dalam rangka refocusing anggaran Pemerintah untuk penanganan Covid-19.

"Saya sangat menyesalkan adanya pemotongan anggaran di pos ini, karena nanti implikasinya akan jadi kacau balau. Anggaran pengentasan daerah rawan pangan sebelumnya sudah kecil, ini malah dipotong lagi lebih kecil," ujar Luluk .

Politisi PKB ini mengatakan pemotongan anggaran tersebut dikhawatirkan berdampak terhadap ancaman peningkatan jumlah stunting pada masa mendatang. Padahal, dalam pidato Presiden Joko Widodo pada Oktober 2019 lalu, Pemerintah berjanji akan memprioritaskan pengentasan stunting dalam lima tahun mendatang.

“Stunting bukan hanya masalah kesehatan, bukan hanya domainnya masalah kementerian kesehatan, ini melibatkan semua. Karena apa? Salah satu indikator terkena stunting itu kan karena adanya gizi yang sangat buruk. Adnya gizi yang kronis, gizi yang buruk dan itu juga terkait akses pangan. Karena ada keterbatasan akses pangan, “ kata Luluk.

Dalam kesempatan yang sama Dr. dr. Tubagus Rachmat Sentika, Sp.A, MARS yang juga menjadi salah satu pemapar dalam diskusi tersebut menyingung soal adanya produk mie instan dan susu kental manis pada paket bantuan sosial yang dibagikan di masyaralat.

 “Sekilas, bantuan ini terlihat meringankan masyarakat. Namun bila diperhatikan, bantuan untuk masyarakat dengan komposisi tersebut belum tentu meringankan beban keluarga. Saya sebagai dokter anak prihatin dengan adanya kental manis di dalam bansos, karbohidratnya lebih dari 46%. Ini dilarang dan nggak boleh untuk anak dibawah 18 tahun,” ujar dokter anak yang akrab disapa Rachmat ini. 

Rachmat juga menyingung soal kebijakan pemerintah dimasa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ini. “Pemerintah mengurangi pelayanan kesehatan dasar seperti posyandu, puskesmas dan poliklinik yang tentu saja mengurangi program-program upaya kesehatan masyarakat (UKM)."

UKM ini seharusnya nggak boleh berhenti karena menyangkut program prioritas, salah satunya adalah stunting. Bayangkan, sudah ada 8 juta orang stunting, dan angka ini yang akan kita hadapi usai pandemi. Refocussing anggaran akibat pandemi seharusnya diluar program-program prioritas pemerintah,” jelasnya. 

Menanggapi hal tersebut, dr. RR. Dhian Probhoyekti SKM, MA, Direktur Gizi Masyarakat,Kemenkes RI mengatakan upaya penanganan stunting tetap dilakukan dengan protokol Covid 19.

“Sosialisasi dan sebaran informasi melalui media sosial tetap dilakukan dan monitoring kesehatan dan gizi anak secara virtual. Selama ini kami juga melakukan edukasi kepada masyarakat tentang pesan gizi seimbang yaitu pangan manis asin dan berlemak, termasuk mengenai bantuan sosial kalau ada yang berisi  susu kental manis ya bukan buat balita, bukan juga untuk minuman tunggal,”jelas Dhian. 

 

 

Editor:Mika Syagi
Asian Games || jakartainsight.com
BUMN || jakartainsight.com